KE PENGADILAN AGAMA YUK !
Wah, itu adalah kalimat yang saya alergi mendengarnya. Pertama karena kata “pengadilan” sendiri yang penuh makna mendalam. Mulai kejujuran, kebohongan, alibi dan keadilan. Ditambah lagi dengan kata “agama” yang dalilnya tidak bisa dipertanyakan. Lengkap sudah arti “Pengadilan Agama” dalam benak saya, sesuatu yang rumit dan harus diterima !
Setahu saya, pengadilan agama lebih banyak mengenai urusan pernikahan yang akan pensiun. Karena kalau yang baru ingin memulai, cukup di Kantor Urusan Agama saja. Herannya, kenapa untuk memulai dan mengakhiri soal pernikahan ini harus berbeda atap. Disisi lain, pemerintah lagi gencar-gencar mensatu-atapkan semua jenis layanan. Nantilah kalau saya sudah menjadi Presiden atau Menteri Agama mulai dipikirkan.
Anyway, dalam perjalanan hidup jarang sekali ajakan ke pengadilan agama itu terngiang-ngiang bebas mengelilingi alat pendengaran saya. Hanya sekali saya pergi kesana untuk sebuah kasus perceraian, itupun hanya sebagai saksi. Mungkin karena keluarga Kono tidak terlalu akrab dengan masalah perceraian. Eh, tidak juga, karena saya masih punya sepupu yang kawin-cerai adalah kariernya. Namun tidak semua prahara rumah tangganya itu harus melalui Kantor Urusan Agama ataupun Pengadilan Agama. Hehe.. hebat memang saudara saya yang satu itu, dimanapun dia menetap, benih-benih cinta bisa dia tanam dan dituai sendiri hasilnya tanpa harus melibatkan para pejabat pernikahan.
Tapi, jangan ditiru ah..
Pernikahan dalam pikiran saya adalah komitmen untuk saling menerima keburukan, kekurangan dan terutama perbedaan. Bukan hanya menikmati dan memanfaatkan kelebihan. Pesan penting dalam pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, ma’wadah dan wa’rohmah serta bertanggung jawab atas titipan Allah SWT yang sangat bernilai, yaitu anak-anak kita.
Anak-anak inilah yang sebenarnya mampu mempersatukan kedua orangtua baik dalam keadaan senang maupun susah. Terkadang, anak adalah motivasi tersendiri bagi orangtua untuk berkerja lebih keras dan saling memaafkan kekurangan. Memang agak berat mempertahankan rumah tangga apabila sudah terjadi konflik, tanpa kehadiran seorang anak. Karena kurangnya rasa keterikatan, membuat pasangan suami-istri cendrung bersifat lebih egois.
Tidak mudah memang menemukan istri yang sabar menghadapi segala tingkah laku suami yang negatif dan saya lebih sering melihat istri yang pasrah menghadapi tingkah laku suami yang tidak berkenan dihatinya. Tapi apapun modelnya, saya dapat meyakini bahwa sesungguhnya mereka adalah ibu rumah tangga yang baik, terutama bagi anak-anaknya. Karena perasaan terluka itu umumnya dilampiaskan kepada anak-anak dalam bentuk perhatian yang mendalam. Hidup memang penuh dengan cobaan. Bagi kaum pria, harta wanita dan tahta tentunya menjadi ujian yang pasti mengelilingi.
Saya bukanlah ahli masalah perkawinan ataupun masalah rumah tangga. Saya hanya senang mengamati dan menganalisa. Tapi, celakanya belakang ini saya justru terlibat jauh terhadap prahara rumah tangga orang lain. Ow may got !
Ketika kita merasa benar-benar berdiri di tengah konflik rumah tangga orang lain, memang tidak ada yang mengenakkan. Ke kiri salah, ke kanan salah. Apalagi kalau kedua pasutri (pasangan suami istri) itu kita kenal akrab. Menjadi penengah tidaklah membantu penyelesaian sebuah masalah, walaupun banyak orang berharap kita mampu menjadi penengah yang baik. Setidaknya itulah yang ada dalam benak saya.
Setiap pasutri adalah individu-individu tersendiri yang didalamnya memiliki passion dan emotion. Apalah arti kita ini berharap menjadi penengah tetapi disisi lain kita juga terkungkung oleh masalah passion dan emotion kita sendiri ? Apakah tidak membuat runyam masalah. Kita harap mereka mendengar nasehat kita, mereka berharap kita mengerti keluhan mereka. Mau ketemu dimana ?.
Saya agak heran dengan cara kerja mereka yang berprofesi sebagai konsultan pernikahan. Bagaimana cara mereka memahami passion dan emotion kliennya ? apakah dengan tanya-jawab ? atau dengan kuosioner ?. Lucu sekali apabila mendengar cerita pasutri yang rujuk setelah dimediasi oleh orang ketiga. Kenapa bisa ? kenapa mereka tidak memilih berbicara langsung dengan pasangannya untuk kemudian mencari solusi. Toh sebelumnya pernah ada masa dimana mereka memang saling percaya dan saling mencintai. Mengapa tidak energi positif yang masih bisa dikenang itu dapat membuat mereka saling menahan diri untuk sementara, lalu berupaya untuk menjalin komunikasi yang baik. Memang tidak mudah, tapi setidaknya itu akan menjadi lebih baik daripada harus melibatkan pihak ketiga.
Banyak masalah rumah tanggga diakibatkan oleh pihak ketiga dan kenapa juga mereka harus mencari pihak ketiga lainnya untuk turut mencari solusi. Bagaimana apabila para pihak ketiga tersebut berkolusi ?. Merugilah pasangan itu. Memang tidak mudah melukiskan dengan kata-kata tentang problematika rumah tangga yang ada di alam pikiran saya. Tapi setidaknya apa yang saya tulis mampu menganggu pikiran orang lain yang sedang dirudung masalah itu, untuk dapat berpikir lebih jernih. Selebihnya, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah tidak memberikan saya kesempatan untuk mencoba berada dalam masalah yang sama..
Karena saya ingin dicintai istri, anak-anak dan orang tua…
(Like this)Kak hehe.. Kak ferry, setuju banget sama tulisan kakak yg ini, melelahkan memang apabila pasangan sudah tidak bisa di ajak komunikasi, ditambah pihak ketiga yang ternyata tidak ada niatan memberikan solusi yang positif. at least solusi yang masih memperhatikan keadaan jiwa anak yang dititipkan oleh Allah SWT. karena dalam setiap masalah yang lewat di halaman pengadilan agama yang jadi korban selalu si kecil, bukan si pasangan yg sama-sama sedang timbul tenggelam dalam emosi masing2.
BalasHapusnah keadaan tersebut seringnya ditambah runyam oleh keterlibatan pihak ketiga dalam masalah rumah tangga, walaupun pihak ketiga tersebut kadang tidak selalu dalam artian negatif yaa Kak melainkan pihak ketiga disini adalah keluarga dari pasangan yang sedang bermasalah itu sendiri, sedih rasanya ketika menyaksikan ada pasangan yang jangankan rujuk, komunikasi pun seolah putus, tahun-tahun yang ditempuh bersama seperti tidak ada artinya sama sekali, dilalah keadaan yang seperti ini pun seakan belum cukup utk saling menyakiti, pasangan2 tertentu malah ada yang sampai berusaha memutus tali silaturrahmi antara anak dengan orang tuanya, astaghfirullah..naudzubillah min dzalik, padahal andai saja mereka mau duduk bersama dengan mengenyampingkan ego, saya yang terbilang hijau dan minim pengetahuan nya soal seluk beluk hidup berumah tangga, yakin semua cuma bisa selesai dengan komunikasi yang murni bertujuan mencari ridho Allah SWT.. karena klo saya tidak salah ingat, di hadapan-NYA jugalah kita semua berikrar, berjanji untuk memulai kehidupan rumah tangga kita masing2. bener ngga tuh Kak..?
Seperti Kak Ferry, saya hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan jalan yang terbaik kepada pasangan2 tersebut, dan semoga Allah memberikan saya kesempatan untuk mencoba menjalani kehidupan rumah tangga saya lebih baik lagi.. AAmmiiieenn
Eh udah cuap-cuap banyak saya lupa belum mengenalkan diri, saya kenalkan diri dulu kali yaa..saya, Narendra Kamil Thalib dan pada kesempatan yang berharga ini, dengan hormat dan hati yang tulus.. saya menghaturkan terima kasih kepada keluarga besar Kono yg sudah menerima saya selama ini sebagai bagian keluarga. andai saja keadaan bisa berbeda(lebih baik).ingin saya sampaikan secara langsung semua ini..
tapi "for what is worth.." saya memohon maaf atas kesalahan saya selama ini, entah salah dalam bersikap atau lisan, saya memohon utk dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya karena saya terbilang gendut, takutnya klo ngga luas saya ngga muat lewatin pintunyaa wkwkwkw..mohon maaf lahir dan bathin kepada segenap keluarga besar Kono, Minal Aidin Wal Faidzin..semoga kita semua selalu diberikan petunjuk dan dijaga dalam ridho-NYA dari waktu ke waktu, aammmiiiieenn
PS. Kak Ferry, sorry lapaknya dicorat-coret nii, hehehe..
Terima kasih ya Kak Ei..
assalaamualaikum wr wb