Selasa, 22 November 2011

MANJA

Pada artikel ini saya ingin mengugat tentang cara kita sebagai orang tua dalam memberikan contoh kasih sayang kepada anak-anak. Banyak perbedaan pendapat tentang hal ini karena setiap anak memiliki karakter yang berbeda dan banyak orang tua memiliki ego masing-masing dalam mendidik anak.

Tapi, saya bukan dalam situasi yang ingin membahas masalah itu lebih dalam. Selain bukan karena ahlinya, saya juga belum mampu memberikan contoh terbaik dalam kehidupan sehari-hari bersama anak, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Satu hal yang ingin saya ganggu pikiran para orang tua, adalah tentang kata "memanjakan" anak. Mengapa saya pilih topik ini karena masalah manja-memanjakan anak adalah santapan rutin dalam diskusi setiap pasangan suami istri. Hal ini dapat meruncing karena silang pendapat antara suami dan istri sangatlah ringkih karena dilihat dari sisi pandang yang berbeda dan bisa jadi anaklah yang akan kehilangan kesempatan dalam mendapatkan apa yang diinginkan.

Memang akan terkesan egois karena saya membahas hal ini dari sudut pandang sendiri. Karena memang itulah fungsi blog ini dibuat, untuk mengutarakan isi hati saya sebagai penulis. Fair dong?

Definisi manja menurut kamus bahasa adalah man.ja
(1) kurang baik adat kelakuannya krn selalu diberi hati, tidak pernah ditegur (dimarahi), dituruti semua kehendaknya, dsb: krn anak bungsu, ia sangat --; 
(2) sangat kasih, jinak, mesra (kpd): anak itu sangat -- kpd kakeknya; kucing itu -- sekali kpd tuannya
Kita hiraukan masalah kakek dan kucing itu, cukup fokus kepada dituruti semua keinginannya dan sangat kasih. Nah, inilah perdebatan yang muncul dalam benak saya karena definisi kata tersebut memiliki arti yang sangat berbeda.

Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT kita selalu ditanamkan dari kecil untuk saling mengasihi antar sesama umat beragama. Seperti juga yang dicontohkan oleh Rasul kita, Nabi Muhammad SAW. Apalagi terhadap anak sendiri. Terkadang cara kita mengasihi anak banyak dilatarbelakangi oleh pengalaman ketika kita seusia mereka dulu dan didukung oleh kemampuan kehidupan kita pada saat ini. Ada juga pasangan yang cara mengasihi anaknya mengikuti pola orang yang mereka kagumi. Tapi pasti itu adalah cara yang semu. Karena kita lebih terobsesi pada kemahiran orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Tidaklah mungkin Allah SWT mempercayai kita sebagai orang tua apabila tidak dibekali dengan kemampuan untuk mengurusnya. Hanya saja terkadang kita sebagai orang tua yang tidak percaya diri.

"Anak-anak jangan dimanjain terus ah.." adalah kalimat yang sering kita dengar apabila kita menuruti apa yang diinginkan sang anak. Manja disini tentu bukan masalah saat sang orang tua memeluk dan mencium anak secara berlebihan, tapi lebih kepada pemenuhan keinginan anak yang dirasakan berlebihan.

Ketika kita bepergian keluar kota, buah tangan untuk anak tercinta pasti selalu terpikir, bukan memanjakan. Ketika kita melihat penjaja es krim, terbayang keriangan saat kita menikmati es krim itu bersama sang anak lengkap dengan clemotannya, bukan memanjakan. Ketika kita melihat sepatu bola untuk anak laki, kita belikan supaya mereka kelak menjadi pemain bola yang handal, bukan memanjakan. Ketika kita melihat gaun cantik untuk sang putri, terbayang harapan kelak dia akan menjadi wanita Indonesia yang mempesona, bukan memanjakan.
Bagi saya itu semua adalah kenangan dan harapan, sekali lagi, bukan memanjakan.

Ketika saya membelikan sesuatu kepada anak-anak barang yang sama, yang terpikir dalam diri saya adalah pembelajaran dari proses keadilan. Bahwa setiap anak harus memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan. Begitu juga ketika saya membelikan sesuatu untuk digunakan secara bersama-sama, ketegasan mengenai saling berbagi diantara kakak beradik adalah pelajarannya.

Ketika sang ibu memberikan hukuman kepada anak,saya cendrung membelanya. Karena saya ingin anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang melatarbelakangi tindakannya sehingga mendapat hukuman, daripada hanya merasa bersalah dan berjanji tidak mengulangi perbuatan namun tidak mengerti dimana letak kesalahannya. Ya, karena mereka tetaplah anak kecil yang masih memiliki batas dalam hal mencerna mana yang baik dan buruk. Buruk buat kita, belum tentu buruk buat mereka, begitupun sebaliknya. Satu hal yang bisa mereka rasakan adalah rasa kasih sayang dan insting untuk diberi perlindungan. Inilah pelajaran yang saya ingin mereka dapatkan, orang tua hadir untuk memberi penegasan sekaligus perlindungan.

Ketika sang ibu menuntut dia belajar karena nilai ujiannya rendah, saya besarkan hatinya bahwa nilai itu bukanlah satu-satunya tujuan yang diinginkan, tapi cara mengendalikan emosi dimana ia menjadi tidak lebih baik dari anak lainnya, adalah hal yang saya harapkan. Karena saya tidak ingin anak berhati kecil karena kelemahannya. Belajar berbesar hati menerima hasil cendrung lebih bermanfaat disaat ia besar nanti.

Masih banyak ketika-ketika lain sebagai contoh dan selalu saja saya berani mengambil angle yang berbeda. Bukan berarti bahwa sosok sang ibu itu tidak paham cara mendidik anak, bukan itu maksudnya. Karena ibu adalah mahluk yang paling komplit di dunia ini. Dia bisa bertindak sebagai ibu dan ayah sekaligus. Beda dengan kita kaum pria. Ibu mampu mengambil peran antagonis demi mendidik anak walaupun dirinya sendiri tidak menginginkan.

Saya hanya ingin memberikan keseimbangan saja dalam mencurahkan isi hati kepada anak, bukan pula memanjakan. Dan tentu ini semua atas seijin istri tercinta.
Jadi makna manja dalam kehidupan rumah tangga saya adalah tentang tujuan. Tujuan yang nantinya bisa membawa anak-anak dalam kebahagian mereka sendiri. Tujuan yang bisa menjadikan mereka sebagai insan penghuni planet bumi yang akan saling mengasihi dan saling menolong sesama..

Dan dengan satu harapan, merekalah yang akan memanjakan saya dan istri, dimasa tua nanti.

We love you Vhiraz Anargya, Vhilmer Bashwara and Prussian Chinara..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar