Kamis, 10 November 2011

EYD

"SEMANGAT TERTJIPTA OENTOEK DJAJA"
(semangat tercipta untuk jaya ..)

Agak bingung saya menerima pelajaran tentang Ejaan Yang Disempurnakan pada saat itu. Kenapa juga harus ada ejaan lama dan perlu disempurnakan. Memangnya waktu diciptakan dulu belum sempurna amat ?, kok ya sudah dipakai ?. Mungkin para pencipta bahasa kita dulu sudah tahu bahwa dengan berjalannya waktu, kata-kata itu akan disempurnakan pada masa depan. Tapi, masa sih ?

Jangan-jangan perubahan kata di tahun 50-an tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di era 80-an dengan bahasa Prokem-nya, era 90-an dengan bahasa Gaul-nya dan era 2000-an dengan bahasa Alay-nya. Coba kita cermati alasan-alasan historikal fase bahasa di tahun-tahun terciptanya. Mungkin saja kondisi bangsa pada saat itu sangat berperngaruh terhadap terjadinya perubahan yang signifikan dan tanpa disadari memberikan transformasi gaya hidup dan tutur kata manusianya.
Membingungkan bukan ?

Bahasa di era 80-an sangat dipengaruhi oleh aktivitas para pemudanya. Mengapa ?. Karena para orang tua mungkin sedang sibuk mencermati ejaan lama apalagi yang harus disempurnakan. Tidak penting memang. Yang jelas, pada saat itu belum banyak sarana atau fasilitas umum bagi masyarakat untuk digunakan sebagai tempat mereka bersosialisasi alias belum ada mall. Banyak pemuda berkumpul di pinggir gang sambil menunggu apakah Ali Topan yang anak jalanan itu akan lewat atau tidak hari ini. 

Sifat Sadiba ( salah dikit bacok ) menjadi ciri khas untuk menggambarkan peri laku kejiwaan mereka. Tidak heran, kata yang terkenal di era itu  tidak jauh dari sisi kriminil, seperti tidak ada jadi gara dae; uang jadi dokat; mati jadi mokat, menghiasi pembicaraan anak-anak tongkrong itu. Banyak sekali perbendaharaan kata dan mampu dituturkan dengan lancar oleh para anak muda. "Gara dae dokat, mokat lu .. " kalimat yang mungkin anda dengar ketika melewati sebuah gang sempit dan dijejali oleh pemuda sekitar. 
Apakah kata-kata itu masuk ejaan yang disempurnakan atau ejaan yang disepelekan ? 

Lain lagi kondisi di tahun 90-an. Mungkin karena era ini mulai banyak tv swasta bermunculan, otomatis membuat orang yang mau tampil di tv menjadi lebih banyak. Walhasil bisnis mendandani orang yang mau masuk tv turut menjamur. Nah disinilah titik kulminasinya terjadi. Maraknya bisnis mendandani atau akrab disebut salon turut diimbangi oleh peredaran para banci-banci yang menjadi hair stylish. Bahkan dibeberapa tempat yang hair stylish-nya lelaki tulen, harus merelakan dirinya menjadi banci salon juga demi memperebutkan periuk pasar

Sifat kebanci-bancian inilah yang menjadi tonggak sejarah dimulainya bahasa Gaul. Hal ini terjadi karena untuk menjadi banci salon, tidak perlu repot-repot operasi seperti waria yang menjajakan diri di sekitar taman lawang. Cukup dengan gerak tubuh yang elastis, kelingking jari sedikit naik, belaga latah-an dan bahasa mendayu-dayu layaknya perempuan, sudah menjadi topeng yang menarik untuk di cap sebagai banci. Apa relevansinya ? ini semua agar para pelanggan salon yang mau tampil di tv tadi menjadi semakin betah dan sering datang ke salonnya. Simple bukan ?. Jelas bahwa banci sangat mudah menggampangkan hal yang sulit dan mempersulit hal yang gampang, tetapi ini merupakan sisi kreatifnya. Kata yang biasa digunakan di salon menjadi kawah chandra dimuka bagi mulai beredarnya bahasa gaul. Cocok menjadi cucok; memang jadi ember; aku jadi akikah, adalah sedikit dari sekian banyak kata yang mereka ciptakan. Bahkan sempat muncul Kamus Bahasa Gaul dalam beberapa versi.
Menggilai ya ?. 

Nah, kalau bahasa Alay ditahun 2000-an konon dibilang menjamur semenjak banyaknya acara musik di tv seperti dahsyat, inbox, derings dan lain-lain. Tapi itu tidak sepenuhnya pas. Bahasa Alay justru dimulai ketika harga sms di telepon selular per sekali kirim masih terasa mahal sekali. Tidak seperti sekarang ini yang kirim 2 kali sms dapat berhadiah 10 ribu sms gratis. Kapan habisnya ya?.
Alay adalah bentuk kreatif untuk mempersingkat atau mengganti kata dan huruf agar mudah terkirim pada sms walaupun dijamin pasti akan membuat sang penerima sms yang tidak mengerti bahasa Alay,  harus menerka apakah gerangan maksud si pengirim ini. 

Bahasa Alay sering menggabungkan bahasa asing seperti loh, gweh end ! alias kita putus ya. Gaya penulisan pun didominasi dengan huruf atau angka yang ada di keypad handphone. Lama kelamaan karena kecanggihan teknologi, era Alay ini bukan hanya berhenti dikata-kata melainkan mampu menjelma menjadi manusia. Ow may got ! Seperti sulap saja.. Alay yikum gambreng .. berubah !

Jadi saudaraku, apabila kita melihat kembali proses transformasi bahasa di negara ini, era perjuangan ada EYD sebagai momentum perubahannya, era 80 ada preman sebagai bentuk penjelmaannya, era 90 ada banci dengan kamus gaulnya, di era alay malah menciptakan mahluknya. 
Bisa kita simpulkan bahwa bahasa bisa merubah sifat. Sifat dapat terwujud dalam sosok hidup. Sosok hidup inilah problem kita, karena semakin banyak anak alay di tanah air tercinta ini yang setiap pagi selalu kumpul di depan atau bahkan didalam tv untuk saling mengeksiskan diri sebagai alay…. 
Alay mak jaaannnnnn !!!!

Sudahlah, jangan gunakan tesis ini sebagai bahan untuk ujian S3 anda, dijamin kacau. Sebenarnya saya menulis EYD untuk merespon komen via bbm group Kono dari tante Jean Cono yang ingin diterangkan bahwa Cono dan Kono itu adalah sama.

Memang tidak ada bedanya, karena itu hanya pengaruh dari EYD tadi dan ditambah pengalaman hidup alm. bapak saya. Ketika beliau merantau, masih digunakan Karim Cono sebagai identitas pribadinya (saya lihat di kartu pengenalnya ketika masih menjadi pegawai departemen keuangan). Sesampai di Jakarta dia melihat nama besar Charlie Chaplin terpampang di salah satu sudut bioskop ibukota. Hal ini membuatnya berpikir, mengapa Charlie Chaplin tidak menggunakan kata Kharlie Chaplin atau Charlie Kaplin seperti Karim Cono ?

Disinilah proses transformasi terjadi, menaturalisasi namanya sendiri menjadi Karim Kono. Supaya lebih eksis saja alasannya. Haha..

Ya, bapakku memang bukan pemain naturalisasi seperti Irfan Bachdim maupun Gonzales. Dia hanya seorang Karim Cono yang ingin merubah namanya menjadi Karim Kono dan pada akhirnya dia mampu merubah nasib keluarga besar Kono.

Jadi ini adalah jawabannya ibu Jean, tidak ada perbedaan antara Kono dengan Cono di mata saya. Yang penting bukan menjadi Ono dalam bahasa prokem, atau kokoronotomo dalam bahasa gaul, atau menjadi x0no seperti bahasa alay-nya.

Viva kono, cono..  tjono (sst, yang ini nama orang !)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar