Jumat, 25 Maret 2022

10 Tahun 5 Bulan

 DAMN !!

Tidak terasa tulisan saya terakhir adalah 10 tahun dan 5 bulan lalu. Ya, November 2011 merupakan postingan saya terakhir.

Entah karena sibuk, bosan atau tidak adanya peralatan yang mumpuni, membuat saya berhenti menulis. Saya bahkan lupa teknologi yang digunakan pada saat itu. Komputernya apa, modemnya apa, kursinya yang mana, hehe.. hanya bentuk ruangan saya menulis yang masih teringat dalam benak pikiran saya.

Kalau tidak salah, tahun 2011 saya masih bertugas sebagai Staff Khusus Menteri Perumahan Rakyat, Bapak Suharso Monoarfa. Banyak cerita menarik kala itu. Senang, sedih, pahit, getir semua campur aduk dalam perjalanan saya bersama beliau. Tapi, dikantor itulah saya banyak mendapatkan ilmu yang tidak pernah dipelajari sebelumya dan membuat saya menjadi Proffesor saat ini, hehe.. professor tanpa gelar formal.

Anyway, saya akan mulai menulis lagi. Tulisan dan kisah yang akan saya tuangkan secara acak dari sisi perjalanan waktunya. Bahasa kerennya, SEINGATNYA. dan sekali lagi saya ingatkan, bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak memiliki banyak manfaat bagi orang lain maupun yang membacanya. Karena niatnya mau membuat awet muda dengan cara banyak berpikir dan mengingat-ingat masa lalu.

So stay tune..

Selasa, 22 November 2011

MANJA

Pada artikel ini saya ingin mengugat tentang cara kita sebagai orang tua dalam memberikan contoh kasih sayang kepada anak-anak. Banyak perbedaan pendapat tentang hal ini karena setiap anak memiliki karakter yang berbeda dan banyak orang tua memiliki ego masing-masing dalam mendidik anak.

Tapi, saya bukan dalam situasi yang ingin membahas masalah itu lebih dalam. Selain bukan karena ahlinya, saya juga belum mampu memberikan contoh terbaik dalam kehidupan sehari-hari bersama anak, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Satu hal yang ingin saya ganggu pikiran para orang tua, adalah tentang kata "memanjakan" anak. Mengapa saya pilih topik ini karena masalah manja-memanjakan anak adalah santapan rutin dalam diskusi setiap pasangan suami istri. Hal ini dapat meruncing karena silang pendapat antara suami dan istri sangatlah ringkih karena dilihat dari sisi pandang yang berbeda dan bisa jadi anaklah yang akan kehilangan kesempatan dalam mendapatkan apa yang diinginkan.

Memang akan terkesan egois karena saya membahas hal ini dari sudut pandang sendiri. Karena memang itulah fungsi blog ini dibuat, untuk mengutarakan isi hati saya sebagai penulis. Fair dong?

Definisi manja menurut kamus bahasa adalah man.ja
(1) kurang baik adat kelakuannya krn selalu diberi hati, tidak pernah ditegur (dimarahi), dituruti semua kehendaknya, dsb: krn anak bungsu, ia sangat --; 
(2) sangat kasih, jinak, mesra (kpd): anak itu sangat -- kpd kakeknya; kucing itu -- sekali kpd tuannya
Kita hiraukan masalah kakek dan kucing itu, cukup fokus kepada dituruti semua keinginannya dan sangat kasih. Nah, inilah perdebatan yang muncul dalam benak saya karena definisi kata tersebut memiliki arti yang sangat berbeda.

Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT kita selalu ditanamkan dari kecil untuk saling mengasihi antar sesama umat beragama. Seperti juga yang dicontohkan oleh Rasul kita, Nabi Muhammad SAW. Apalagi terhadap anak sendiri. Terkadang cara kita mengasihi anak banyak dilatarbelakangi oleh pengalaman ketika kita seusia mereka dulu dan didukung oleh kemampuan kehidupan kita pada saat ini. Ada juga pasangan yang cara mengasihi anaknya mengikuti pola orang yang mereka kagumi. Tapi pasti itu adalah cara yang semu. Karena kita lebih terobsesi pada kemahiran orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Tidaklah mungkin Allah SWT mempercayai kita sebagai orang tua apabila tidak dibekali dengan kemampuan untuk mengurusnya. Hanya saja terkadang kita sebagai orang tua yang tidak percaya diri.

"Anak-anak jangan dimanjain terus ah.." adalah kalimat yang sering kita dengar apabila kita menuruti apa yang diinginkan sang anak. Manja disini tentu bukan masalah saat sang orang tua memeluk dan mencium anak secara berlebihan, tapi lebih kepada pemenuhan keinginan anak yang dirasakan berlebihan.

Ketika kita bepergian keluar kota, buah tangan untuk anak tercinta pasti selalu terpikir, bukan memanjakan. Ketika kita melihat penjaja es krim, terbayang keriangan saat kita menikmati es krim itu bersama sang anak lengkap dengan clemotannya, bukan memanjakan. Ketika kita melihat sepatu bola untuk anak laki, kita belikan supaya mereka kelak menjadi pemain bola yang handal, bukan memanjakan. Ketika kita melihat gaun cantik untuk sang putri, terbayang harapan kelak dia akan menjadi wanita Indonesia yang mempesona, bukan memanjakan.
Bagi saya itu semua adalah kenangan dan harapan, sekali lagi, bukan memanjakan.

Ketika saya membelikan sesuatu kepada anak-anak barang yang sama, yang terpikir dalam diri saya adalah pembelajaran dari proses keadilan. Bahwa setiap anak harus memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan. Begitu juga ketika saya membelikan sesuatu untuk digunakan secara bersama-sama, ketegasan mengenai saling berbagi diantara kakak beradik adalah pelajarannya.

Ketika sang ibu memberikan hukuman kepada anak,saya cendrung membelanya. Karena saya ingin anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang melatarbelakangi tindakannya sehingga mendapat hukuman, daripada hanya merasa bersalah dan berjanji tidak mengulangi perbuatan namun tidak mengerti dimana letak kesalahannya. Ya, karena mereka tetaplah anak kecil yang masih memiliki batas dalam hal mencerna mana yang baik dan buruk. Buruk buat kita, belum tentu buruk buat mereka, begitupun sebaliknya. Satu hal yang bisa mereka rasakan adalah rasa kasih sayang dan insting untuk diberi perlindungan. Inilah pelajaran yang saya ingin mereka dapatkan, orang tua hadir untuk memberi penegasan sekaligus perlindungan.

Ketika sang ibu menuntut dia belajar karena nilai ujiannya rendah, saya besarkan hatinya bahwa nilai itu bukanlah satu-satunya tujuan yang diinginkan, tapi cara mengendalikan emosi dimana ia menjadi tidak lebih baik dari anak lainnya, adalah hal yang saya harapkan. Karena saya tidak ingin anak berhati kecil karena kelemahannya. Belajar berbesar hati menerima hasil cendrung lebih bermanfaat disaat ia besar nanti.

Masih banyak ketika-ketika lain sebagai contoh dan selalu saja saya berani mengambil angle yang berbeda. Bukan berarti bahwa sosok sang ibu itu tidak paham cara mendidik anak, bukan itu maksudnya. Karena ibu adalah mahluk yang paling komplit di dunia ini. Dia bisa bertindak sebagai ibu dan ayah sekaligus. Beda dengan kita kaum pria. Ibu mampu mengambil peran antagonis demi mendidik anak walaupun dirinya sendiri tidak menginginkan.

Saya hanya ingin memberikan keseimbangan saja dalam mencurahkan isi hati kepada anak, bukan pula memanjakan. Dan tentu ini semua atas seijin istri tercinta.
Jadi makna manja dalam kehidupan rumah tangga saya adalah tentang tujuan. Tujuan yang nantinya bisa membawa anak-anak dalam kebahagian mereka sendiri. Tujuan yang bisa menjadikan mereka sebagai insan penghuni planet bumi yang akan saling mengasihi dan saling menolong sesama..

Dan dengan satu harapan, merekalah yang akan memanjakan saya dan istri, dimasa tua nanti.

We love you Vhiraz Anargya, Vhilmer Bashwara and Prussian Chinara..

Terima Kasih Sayang

MAU KADO APA ?

Apa yang anda harapkan dari putra-putri anda yang berusia dibawah 7 tahun ketika anda sedang berulang tahun?. Jangan persulit otak anda dengan banyaknya kata "anda, yang dan tahun", hehe..
Intinya, mau kado apa dari anak-anak anda ketika sedang berulang tahun ?

Pasti beragam keinginan kita sebagai orang tua terhadap  hadiah yang mungkin akan diberikan oleh putra-putri kecil kita. Tentunya tidak ada satupun yang berharap materi. Doalah yang mungkin paling di nanti selain peluk dan cium. Banyak cara anak-anak kita yang masih kecil untuk melukiskan ungkapan hati mereka ketika kita sedang berulang tahun. Bagaimanapun cara mereka, gelak tawa dan haru pasti yang akan kita rasakan. Dan tentu akan selalu menjadi momen khusus yang selalu kita kenang.


Saya teringat pada bulan Juni 2010 lalu diberikan a surprised birthday party oleh anak-anak ketika saya baru pulang kembali ke hotel dari seharian melaksanakan tugas kantor. Pada saat itu, kantor tempat saya bekerja, Kementerian Perumahaan Rakyat, sedang melaksanakan perhelatan internasional di kota Solo tentang masalah perumahan yang dihadiri oleh Menteri Perumahan se-Asia Pasifik. Memang ketika masih sedang mengurus pekerjaan, istri saya tercinta sudah datang bersama teman-teman ke venue acara untuk membuat kejutan bersama pak Menteri dan pejabat Kementerian Perumahan lainnya. Namun yang terjadi di hotel bersama anak-anak terasa lebih spesial. Karena rasa bahagia mengelilingi hati sebagai penyejuk lara ketika sudah penat bekerja. 

Satu hal yang sangat berarti adalah kado berupa puisi dari anak-anak saya. Memang bukan mereka sendiri yang menuliskannya, karena hal itu pasti dilakukan oleh Mama atau Eyang Kakungnya. Tapi, inspirasi dari puisi itu adalah dari mereka sendiri dan dibacakan langsung oleh anak tertua saya yang berumur 6 tahun pada saat itu, Vhiraz Anargya Kono.

Ini adalah kutipan puisinya :

PAPA IDOLA-KU

Kami ada ......
Karena Tuhan ......
Menitipkannya ......
Kepada Papa dan Mama

Aku bisa berjalan ..... karena Papa
Aku bisa bernyanyi ...... karena Papa
Aku bisa membaca ...... karena Papa
Aku bisa tertawa ...... karena Papa lucu sih......

Selamat ulang tahun ...... Spiderman - ku
Semoga panjang umur ...... Superman - ku
Semoga selalu sehat ...... Ben Ten – ku
Semoga Tuhan menitipkan rejeki yang banyak ....... Idola-ku

Kami yang mencintai Papa dan Mama .....
Vhiraz, Vhilmer dan Prussian


Ya ini adalah puisi dari anak-anak tercinta ketika saya sedang berulang tahun. Memang hanya kumpulan kata yang dirangkai menjadi sebuah kalimat dan mungkin terdengar sangat umum. Tapi ini adalah sebuah hadiah yang sangat saya dambakan, kejujuran hati. 

Karena kejujuran anak adalah hal yang pasti sudah terlupakan disaat kita menjadi dewasa. Kejujuran yang tidak munafik, kejujuran yang tidak ada niat terselubung, kejujuran yang dikarenakan rasa lugu, kejujuran untuk melukiskan isi hati dan kejujuran dari relung hati terdalam.



Terima kasih sayang ..
Ini adalah kado terbaik yang pernah papa terima.





Senin, 21 November 2011

PRAHARA

KE PENGADILAN AGAMA YUK !

Wah, itu adalah kalimat yang saya alergi mendengarnya. Pertama karena kata “pengadilan” sendiri yang penuh makna mendalam. Mulai kejujuran, kebohongan, alibi dan keadilan. Ditambah lagi dengan kata “agama” yang dalilnya tidak bisa dipertanyakan. Lengkap sudah arti “Pengadilan Agama” dalam benak saya, sesuatu yang rumit dan harus diterima !

Setahu saya, pengadilan agama lebih banyak mengenai urusan pernikahan yang akan pensiun. Karena kalau yang baru ingin memulai, cukup di Kantor Urusan Agama saja. Herannya, kenapa untuk memulai dan mengakhiri soal pernikahan ini harus berbeda atap. Disisi lain, pemerintah lagi gencar-gencar mensatu-atapkan semua jenis layanan. Nantilah kalau saya sudah menjadi Presiden atau Menteri Agama mulai dipikirkan.

Anyway, dalam perjalanan hidup jarang sekali ajakan ke pengadilan agama itu terngiang-ngiang bebas mengelilingi alat pendengaran saya. Hanya sekali saya pergi kesana untuk sebuah kasus perceraian, itupun hanya sebagai saksi. Mungkin karena keluarga Kono tidak terlalu akrab dengan masalah perceraian. Eh, tidak juga, karena saya masih punya sepupu yang kawin-cerai adalah kariernya. Namun tidak semua prahara rumah tangganya itu harus melalui Kantor Urusan Agama ataupun Pengadilan Agama. Hehe.. hebat memang saudara saya yang satu itu, dimanapun dia menetap, benih-benih cinta bisa dia tanam dan dituai sendiri hasilnya tanpa harus melibatkan para pejabat pernikahan.
Tapi, jangan ditiru ah..

Pernikahan dalam pikiran saya adalah komitmen untuk saling menerima keburukan, kekurangan dan terutama perbedaan. Bukan hanya menikmati dan memanfaatkan kelebihan. Pesan penting dalam pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, ma’wadah dan wa’rohmah serta bertanggung jawab atas titipan Allah SWT yang sangat bernilai, yaitu anak-anak kita.

Anak-anak inilah yang sebenarnya mampu mempersatukan kedua orangtua baik dalam keadaan senang maupun susah. Terkadang, anak adalah motivasi tersendiri bagi orangtua untuk berkerja lebih keras dan saling memaafkan kekurangan. Memang agak berat mempertahankan rumah tangga apabila sudah terjadi konflik, tanpa kehadiran seorang anak. Karena kurangnya rasa keterikatan, membuat pasangan suami-istri cendrung bersifat lebih egois.

Tidak mudah memang menemukan istri yang sabar menghadapi segala tingkah laku suami yang negatif dan saya lebih sering melihat istri yang pasrah menghadapi tingkah laku suami yang tidak berkenan dihatinya. Tapi apapun modelnya, saya dapat meyakini bahwa sesungguhnya mereka adalah ibu rumah tangga yang baik, terutama bagi anak-anaknya. Karena perasaan terluka itu umumnya dilampiaskan kepada anak-anak dalam bentuk perhatian yang mendalam. Hidup memang penuh dengan cobaan. Bagi kaum pria, harta wanita dan tahta tentunya menjadi ujian yang pasti mengelilingi.

Saya bukanlah ahli masalah perkawinan ataupun masalah rumah tangga. Saya hanya senang mengamati dan menganalisa. Tapi, celakanya belakang ini saya justru terlibat jauh terhadap prahara rumah tangga orang lain. Ow may got !
Ketika kita merasa benar-benar berdiri di tengah konflik rumah tangga orang lain, memang tidak ada yang mengenakkan. Ke kiri salah, ke kanan salah. Apalagi kalau kedua pasutri (pasangan suami istri) itu kita kenal akrab. Menjadi penengah tidaklah membantu penyelesaian sebuah masalah, walaupun banyak orang berharap kita mampu menjadi penengah yang baik. Setidaknya itulah yang ada dalam benak saya.

Setiap pasutri adalah individu-individu tersendiri yang didalamnya memiliki passion dan emotion. Apalah arti kita ini berharap menjadi penengah tetapi disisi lain kita juga terkungkung oleh masalah passion dan emotion kita sendiri ? Apakah tidak membuat runyam masalah. Kita harap mereka mendengar nasehat kita, mereka berharap kita mengerti keluhan mereka. Mau ketemu dimana ?.

Saya agak heran dengan cara kerja mereka yang berprofesi sebagai konsultan pernikahan. Bagaimana cara mereka memahami passion dan emotion kliennya ? apakah dengan tanya-jawab ? atau dengan kuosioner ?. Lucu sekali apabila mendengar cerita pasutri yang rujuk setelah dimediasi oleh orang ketiga. Kenapa bisa ? kenapa mereka tidak memilih berbicara langsung dengan pasangannya untuk kemudian mencari solusi.  Toh sebelumnya pernah ada masa dimana mereka memang saling percaya dan saling mencintai. Mengapa tidak energi positif yang masih bisa dikenang itu dapat membuat mereka saling menahan diri untuk sementara, lalu berupaya untuk menjalin komunikasi yang baik. Memang tidak mudah, tapi setidaknya itu akan menjadi lebih baik daripada harus melibatkan pihak ketiga.

Banyak masalah rumah tanggga diakibatkan oleh pihak ketiga dan kenapa juga mereka harus mencari pihak ketiga lainnya untuk turut mencari solusi. Bagaimana apabila para pihak ketiga tersebut berkolusi ?.  Merugilah pasangan itu. Memang tidak mudah melukiskan dengan kata-kata tentang problematika rumah tangga yang ada di alam pikiran saya. Tapi setidaknya apa yang saya tulis mampu menganggu pikiran orang lain yang sedang dirudung masalah itu, untuk dapat berpikir lebih jernih. Selebihnya, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah tidak memberikan saya kesempatan untuk mencoba berada dalam masalah yang sama..

Karena saya ingin dicintai istri, anak-anak dan orang tua…


Minggu, 20 November 2011

Tidak Penting Tetapi Berharga

80 di 2011 ..

Apa gerangan maksudnya?
Apakah kita sedang berbicara soal usia, soal jumlah sepatu atau mungkin tentang target jumlah mobil yang ingin dimiliki ? hehe.. tidaklah.

Tulisan ini bukanlah untuk konsumsi umum, melainkan untuk melatih memori otak bahwa saya harus mengingat dan mengenal seberapa besar jumlah keluarga sendiri!. Ya, 80 di 2011 adalah jumlah total 4 generasi Keluarga Besar Kono dari turunan Opa dan Oma. Lucu saja bagi saya karena jumlahnya genap 80 orang di akhir tahun ini.

Oke, saya akan memulai dari Opa dan Oma sebagai generasi pertama. Sebenarnya dari Opa dan Oma ada juga kakak-beradik dan sepupunya. Tapi mereka tidak masuk dalam tulisan ini dengan alasan saya tidak hafal dan sulit mencari nara sumber, selain itu biarlah mereka menjadi urusan para anak dan cucunya.. (hehe, maap sih!!)

Mohammad Kono (alm) dan Hj. Mariana Kono (almh) adalah nama Opa dan Oma yang saya hitung sebagai generasi pertama keluarga kami, Opa dan Oma Lombongo panggilan akrabnya. Lombongo diambil dari nama sebuah dusun yang terkenal dengan pemandian air panasnya di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo. Mereka kemudian memiliki 9 anak, yang kemudian saya hitung sebagai generasi kedua.

Drs. H. Abd. Karim Kono (alm) adalah putra tertua yang kemudian menikah dengan Hj. Husna Tangahu Kono (keturunan dari keluarga Tangahu-Wartabone). Nah, mereka adalah orang tua saya tercinta. Dari mereka hadirlah 4 anak sebagai generasi ketiga yaitu Elmar Arto Suryo Kono (Ato) sebagai putra tertua dan menikah dengan Maya Virantika (ini orang Jawa tulen), Mevy Dwihandayani Kono (Epi) yang menikah dengan Firman Musirwan (ini dari suku Padang asli), Ferry Juniarto Kono (Eyi) yang menikah dengan Wendy Friyantisa (ini campuran Pontianak dan Jogja) dan terakhir adalah Sabria Sagita Kono (Ria) yang menikah dengan Rio Febrian (nah, ini artis.. ?). Kami semua bertempat tinggal di Jakarta.

Dari keluarga ini hadirlah generasi keempat sebagai cicit, Niraz Vhasqua Kono dan Naira Vhalenza Kono putra-putri pasangan Ato; Fanya Amarayesha Firman dan Farrel Mohammad Arsy Firman putra-putri pasangan Epi; Vhiraz Anargya Kono, Vhilmer Bashwara Kono dan Prussian Chinara Kono dari pasangan Eyi; Jamaika Fosteriano Febrian dari pasangan Ria.

Hj. Roesmin Kono Wartabone (Nina) sebagai anak kedua dari Opa dan Oma menikah dengan Osaka Wartabone (alm). Putra-putrinya adalah Nixon Wartabone (Iton), Nova Wartabone menikah dengan Rizal Lapananda, Shanty Wartabone menikah dengan Farouk Bayu Ditya (Pay) dan Jimmy Wartabone yang menikah dengan Anisa Jembarsari (ini dari suku Sunda). Keluarga ini tersebar rata di Gorontalo, Jakarta dan Bandung.

Generasi keempat dari keluarga ini adalah Rizqa Putri Wartabone dan Titania Salsabila Wartabone dari Iton; Mohammad Rasya Alkhafi Lapananda dan Faizul Lapananda dari pasangan Nova; Kayla Putri dan Mayla Putri dari pasangan Shanty.

Anak ketiga Opa dan Oma adalah H. Rudyanto Kono (Rudy) yang menikah dengan Hj. Nina Tangahu Kono (almh) yang juga adalah adik dari Hj. Husna Tangahu Kono. Dari keluarga ini hadirlah Faqriaty Kono (Ati) yang menikah dengan Iskandar Zulkarnain (Nanang), Sriwahyuningsih Kono (Yuyun) menikah dengan Wawan Setiawan, Yunandar Kono (Yunan), Ririn Kono dan Merlly Megalia Kono (Ega) menikah dengan Yogi Ihsan Rizal. Sebagian besar dari keluarga ini berdomisili di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sebagai generasi keempatnya adalah Adinda Siti Azzahra dan Najwan Dzaki dari pasangan Aty; Zahra Kono putri dari Yunan; M Fariz Samdya Adabi putra dari Yuyun; M Keiza Nahban Maulana dan Salma Janeeta Hartini Rizal dari pasangan Ega.

Hj Ruaida Kono (Ruwa.. bukan Roa ya, karena itu jenis makanan khas Gorontalo) sebagai anak keempat menikah dengan Uten Daud. Fattah Botutihe yang menikah dengan Yolanda Sidiki, Jane Daud dan Puput Daud adalah putra-putri mereka. Generasi keempatnya adalah Salsabila Botutihe dan Najwa Botutihe putri dari Fattah. Keluarga ini semuanya bertempat tinggal di Gorontalo.

Anak kelima adalah H. Mohammad Roem Kono yang menikah dengan Hj. Novianti Kala Kono (Letty). Mereka dikaruniai 2 anak yaitu Miranti Amalia Kono (Anti) yang menikah dengan Narendra Kamil Talib; dan Ryan Kono yang baru saja menikah dengan Kharisma Wijaya (Mima). Dari sini generasi keempatnya adalah putri dari Anti, Aliyaah Qaisara Luna Kamil. Nah, keluarga ini semuannya berkumpul di perumahan yang sama di Jakarta. Enak kan ?.

Waduh, cukup berat juga mengurutkan nama-nama diatas karena harus menghafalkan lagi. Tetapi bagian setelah ini lebih mudah karena mulai dari anak keenam sampai kesembilan belum berkonstribusi untuk generasi keempat dalam keluarga kami di tahun 2011 ini. Hehe.. 

Arifin Kono (Ipin) yang sekilas tentang dia pernah saya muat dalam tulisan saya di Kono, Swing dan Kami, adalah anak keenam dan menikah dengan Rosani Kono (Ros.. putri dari adiknya Opa Lombongo). Gilang Prasetya Kono dan Novita Sarita Kono (Opi) adalah putra-putri mereka. Kebun Jeruk di Jakarta tempat untuk mencari keluarga ini.

Setelah Arifin, ada Aristo Kono sebagai anak ketujuh yang dikarunia Mochamad Kemal Kono dan Ghinda Nevytia Kono. Rupanya Bekasi adalah kota idaman mereka untuk menetap.

Hj. Hasnawiyah Kono sebagai anak kedelapan dan merupakan putri terakhir dari Opa dan Oma, menikah dengan H. Agus Sudrajat (dari suku Jawa). Fajar Widiansyah (Didit) dan Imaniar Safira (Fira) adalah putra-putrinya. Sudah berulang kali berencana untuk pindah dari Depok, hehe..

Oh ya, Didit, Kemal dan Vhasqua adalah keturunan dari Dinosaurus juga.. karena badan mereka tinggi besar.. hahaha.

Putra terakhir adalah Irwan Kono (Iwan) yang menempuh pendidikan dan besar di Jakarta. Namun kemudian memutuskan untuk hijrah kembali  ke Gorontalo. Menikah dengan Riyan Bilakonga Kono dan dikaruniai Shinta Angrelya Kono serta Dea Kono sebagai putri mereka.

Lengkap sudah 80 personil Keluarga Kono dari keturunan Opa dan Oma Lombongo. Jadi apabila ada nama Kono lain diluar yang sudah disebutkan diatas, maka dapat dipastikan bahwa mereka adalah Kono dari toko sebelah. Hehe
Tapi siapapun mereka, sudah barang tentu adalah keluarga kami juga.
No doubt about it ..

Informasi ini memang tidak penting bagi mereka yang tidak ada hubungannya dengan keluarga kami. Tetapi saya yakin bahwa tulisan ini akan sangat berarti untuk anak-cucuku nanti. Sehingga mereka dapat mengenal betul siapa dan bagaimana urutan keluarganya.

Semoga saja di 2012 dan tahun ke depan nanti, jumlah personil ini akan semakin bertambah. Sehingga diperlukan tempat yang sangat besar apabila kita sedang berkumpul untuk arisan maupun berhari raya, haha.. senangnya.

Yah, kali ini memang bukan tulisan yang penting.. namun sangat berharga !


Jumat, 11 November 2011

PILKADA

"torang tidak membutuhkan gubernur yang duluhe'o-duluhe'o to dingingo wanu te jakarta.."
(kita tidak membutuhkan gubernur yang suka disudut-sudut pada sudut dinding kalau ke jakarta .. 
-alias tukang tripping)


Kurang lebih begitu arti bbm chat yang saya terima dari keluarga di Gorontalo. Lucu sih tapi sangat mengarah kepada siapa saja calon gubernur gorontalo yang merasa dirinya seperti itu. Sering sekali kita baca di surat kabar banyak oknum pejabat daerah selalu memanfaatkan waktu ketika berkunjung ke jakarta untuk memuaskan diri dengan dugem dan mencari kesenangan.

Hal ini adalah sesuatu yang sangat lumrah terjadi dimana saja dan kepada siapa saja karena Ibukota memang menyediakan fasilitas seperti itu. Namun karena saat ini sedang berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di Gorontalo, tentu saja cerita ini bisa berakibat lain dan saling menimbulkan fitnah.
Apakah sudah begitu parahnya para calon yang akan menjadi pemimpin-pemimpin daerah kita tercinta ?;
Apakah tidak ada calon yang sangat bersih dari hal-hal yang sangat lumrah terjadi ?; dan
Apakah yang sesungguhnya masyarakat inginkan dari sosok pemimpinnya ?.

Terlepas dari problematika dinding itu, saya perhatikan hampir semua calon gubernur dan wakilnya adalah warga gorontalo yang saat ini sedang menjabat sebagai pemimpin di wilayah atau institusinya masing-masing. Bagaimana nasib amanah yang diembannya dari jabatan terdahulu apabila yang bersangkutan kemudian terpilih? Mengapa tidak memilih sikap untuk menyelesaikan pekerjaan yang terdahulu sampai tuntas agar janjinya kepada masyarakat terpenuhi, baru setelah itu menapaki peluang jabatan baru. Takut ketinggalan kereta barangkali.

Lucu memang daerahku ini. Selalu saja out of the box terhadap setiap kisah kehidupan yang terjadi bagi warga masyarakatnya. Dahulu ada budaya tutuhiya dimana yang kuat (lebih tua) akan berupaya untuk menjegal yang lemah (lebih muda). Praktis kaderisasi sumber daya gorontalo di daerah perantauan jelas sangat minim. Namun era itu sekarang sudah berubah. Sudah banyak yang kuat mendorong yang lemah dan yang lemah mendorong yang kuat. Baguslah..

Contoh lain, baru di kabinet ini terdapat langsung 2 (dua) putra gorontalo yang duduk di kursi menteri. Belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Sangat membanggakan. Tetapi kemudian kedua menteri itu sama-sama diganti  sebelum masa jabatan resmi berakhir. Inipun belum pernah terjadi dalam sejarah gorontalo.

Mungkin contoh tadi bisa menjadi hikmah bagi para calon gubenur dan wakilnya yang akan segera bertarung disana. Anekdot "sudah bagus menjadi gubernur, malah ditinggal untuk jadi menteri.. sekarang malah tidak jadi apa-apa.. semua niat baik pun menjadi harapan belaka" atau "sudah bagus menjadi menteri malah mencari-cari masalah, sekarang masyarakat yang merana..".

Pilkada memang di sisi lain dapat menjadi pesta demokrasi masyarakat di daerah. Tapi pilkada bukanlah pilkina yang mampu mengobati semua luka-luka hati masyarakat. Dia hanya euforia sesaat warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi baik yang tulus, di paksa maupun dikarang. Setelah itu, nantikan bentuk kekecewaan atas semua janiji yang tak terpenuhi. Walaupun masyarakat sudah tahu bahwa janji itu hanyalah janji palsu.

Dalam keluarga Kono, masih ada beberapa nama yang berpeluang untuk mendapatkan karir politik baik didaerah maupun dipusat. Ada yang sudah berkecimpung lama maupun baru belajar berpolitik. Eksistensi keluarga di jalur politik memang masih dibutuhkan untuk memberikan kesempatan kepada kono's muda agar siap pada waktunya nanti. Tentu kita melakukan nepotisme dalam hal ini dengan tujuan agar yang kuat melindungi yang lemah dan yang lemah akan terdorong untuk menjadi kuat. Belum pernah saya mendengar ada cerita saling menjatuhkan dalam kehidupan berpolitik antar sesama keluarga kono. Ya, karena kami bahagia bisa saling menghormati, saling membutuhkan, saling menjaga, saling mendukung terhadap status kami masing-masing. Ada yang berpolitik, berbisnis, berkarier, berumah-tangga, berpetualang bahkan ada juga yang berpengangguran (hehe),

Memang setiap orang ada masanya..
dan setiap masa ada orangnya..
Kita hanya bisa lagi-lagi berharap, semoga yang baru bisa menjadi lebih baik..
Sambil menanti bahwa suatu saat kita yang ada ditempat itu..
dan berikrar, saya tidak mau seperti mereka..
Saya ingin menjadi yang lebih baik !

Kamis, 10 November 2011

EYD

"SEMANGAT TERTJIPTA OENTOEK DJAJA"
(semangat tercipta untuk jaya ..)

Agak bingung saya menerima pelajaran tentang Ejaan Yang Disempurnakan pada saat itu. Kenapa juga harus ada ejaan lama dan perlu disempurnakan. Memangnya waktu diciptakan dulu belum sempurna amat ?, kok ya sudah dipakai ?. Mungkin para pencipta bahasa kita dulu sudah tahu bahwa dengan berjalannya waktu, kata-kata itu akan disempurnakan pada masa depan. Tapi, masa sih ?

Jangan-jangan perubahan kata di tahun 50-an tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di era 80-an dengan bahasa Prokem-nya, era 90-an dengan bahasa Gaul-nya dan era 2000-an dengan bahasa Alay-nya. Coba kita cermati alasan-alasan historikal fase bahasa di tahun-tahun terciptanya. Mungkin saja kondisi bangsa pada saat itu sangat berperngaruh terhadap terjadinya perubahan yang signifikan dan tanpa disadari memberikan transformasi gaya hidup dan tutur kata manusianya.
Membingungkan bukan ?

Bahasa di era 80-an sangat dipengaruhi oleh aktivitas para pemudanya. Mengapa ?. Karena para orang tua mungkin sedang sibuk mencermati ejaan lama apalagi yang harus disempurnakan. Tidak penting memang. Yang jelas, pada saat itu belum banyak sarana atau fasilitas umum bagi masyarakat untuk digunakan sebagai tempat mereka bersosialisasi alias belum ada mall. Banyak pemuda berkumpul di pinggir gang sambil menunggu apakah Ali Topan yang anak jalanan itu akan lewat atau tidak hari ini. 

Sifat Sadiba ( salah dikit bacok ) menjadi ciri khas untuk menggambarkan peri laku kejiwaan mereka. Tidak heran, kata yang terkenal di era itu  tidak jauh dari sisi kriminil, seperti tidak ada jadi gara dae; uang jadi dokat; mati jadi mokat, menghiasi pembicaraan anak-anak tongkrong itu. Banyak sekali perbendaharaan kata dan mampu dituturkan dengan lancar oleh para anak muda. "Gara dae dokat, mokat lu .. " kalimat yang mungkin anda dengar ketika melewati sebuah gang sempit dan dijejali oleh pemuda sekitar. 
Apakah kata-kata itu masuk ejaan yang disempurnakan atau ejaan yang disepelekan ? 

Lain lagi kondisi di tahun 90-an. Mungkin karena era ini mulai banyak tv swasta bermunculan, otomatis membuat orang yang mau tampil di tv menjadi lebih banyak. Walhasil bisnis mendandani orang yang mau masuk tv turut menjamur. Nah disinilah titik kulminasinya terjadi. Maraknya bisnis mendandani atau akrab disebut salon turut diimbangi oleh peredaran para banci-banci yang menjadi hair stylish. Bahkan dibeberapa tempat yang hair stylish-nya lelaki tulen, harus merelakan dirinya menjadi banci salon juga demi memperebutkan periuk pasar

Sifat kebanci-bancian inilah yang menjadi tonggak sejarah dimulainya bahasa Gaul. Hal ini terjadi karena untuk menjadi banci salon, tidak perlu repot-repot operasi seperti waria yang menjajakan diri di sekitar taman lawang. Cukup dengan gerak tubuh yang elastis, kelingking jari sedikit naik, belaga latah-an dan bahasa mendayu-dayu layaknya perempuan, sudah menjadi topeng yang menarik untuk di cap sebagai banci. Apa relevansinya ? ini semua agar para pelanggan salon yang mau tampil di tv tadi menjadi semakin betah dan sering datang ke salonnya. Simple bukan ?. Jelas bahwa banci sangat mudah menggampangkan hal yang sulit dan mempersulit hal yang gampang, tetapi ini merupakan sisi kreatifnya. Kata yang biasa digunakan di salon menjadi kawah chandra dimuka bagi mulai beredarnya bahasa gaul. Cocok menjadi cucok; memang jadi ember; aku jadi akikah, adalah sedikit dari sekian banyak kata yang mereka ciptakan. Bahkan sempat muncul Kamus Bahasa Gaul dalam beberapa versi.
Menggilai ya ?. 

Nah, kalau bahasa Alay ditahun 2000-an konon dibilang menjamur semenjak banyaknya acara musik di tv seperti dahsyat, inbox, derings dan lain-lain. Tapi itu tidak sepenuhnya pas. Bahasa Alay justru dimulai ketika harga sms di telepon selular per sekali kirim masih terasa mahal sekali. Tidak seperti sekarang ini yang kirim 2 kali sms dapat berhadiah 10 ribu sms gratis. Kapan habisnya ya?.
Alay adalah bentuk kreatif untuk mempersingkat atau mengganti kata dan huruf agar mudah terkirim pada sms walaupun dijamin pasti akan membuat sang penerima sms yang tidak mengerti bahasa Alay,  harus menerka apakah gerangan maksud si pengirim ini. 

Bahasa Alay sering menggabungkan bahasa asing seperti loh, gweh end ! alias kita putus ya. Gaya penulisan pun didominasi dengan huruf atau angka yang ada di keypad handphone. Lama kelamaan karena kecanggihan teknologi, era Alay ini bukan hanya berhenti dikata-kata melainkan mampu menjelma menjadi manusia. Ow may got ! Seperti sulap saja.. Alay yikum gambreng .. berubah !

Jadi saudaraku, apabila kita melihat kembali proses transformasi bahasa di negara ini, era perjuangan ada EYD sebagai momentum perubahannya, era 80 ada preman sebagai bentuk penjelmaannya, era 90 ada banci dengan kamus gaulnya, di era alay malah menciptakan mahluknya. 
Bisa kita simpulkan bahwa bahasa bisa merubah sifat. Sifat dapat terwujud dalam sosok hidup. Sosok hidup inilah problem kita, karena semakin banyak anak alay di tanah air tercinta ini yang setiap pagi selalu kumpul di depan atau bahkan didalam tv untuk saling mengeksiskan diri sebagai alay…. 
Alay mak jaaannnnnn !!!!

Sudahlah, jangan gunakan tesis ini sebagai bahan untuk ujian S3 anda, dijamin kacau. Sebenarnya saya menulis EYD untuk merespon komen via bbm group Kono dari tante Jean Cono yang ingin diterangkan bahwa Cono dan Kono itu adalah sama.

Memang tidak ada bedanya, karena itu hanya pengaruh dari EYD tadi dan ditambah pengalaman hidup alm. bapak saya. Ketika beliau merantau, masih digunakan Karim Cono sebagai identitas pribadinya (saya lihat di kartu pengenalnya ketika masih menjadi pegawai departemen keuangan). Sesampai di Jakarta dia melihat nama besar Charlie Chaplin terpampang di salah satu sudut bioskop ibukota. Hal ini membuatnya berpikir, mengapa Charlie Chaplin tidak menggunakan kata Kharlie Chaplin atau Charlie Kaplin seperti Karim Cono ?

Disinilah proses transformasi terjadi, menaturalisasi namanya sendiri menjadi Karim Kono. Supaya lebih eksis saja alasannya. Haha..

Ya, bapakku memang bukan pemain naturalisasi seperti Irfan Bachdim maupun Gonzales. Dia hanya seorang Karim Cono yang ingin merubah namanya menjadi Karim Kono dan pada akhirnya dia mampu merubah nasib keluarga besar Kono.

Jadi ini adalah jawabannya ibu Jean, tidak ada perbedaan antara Kono dengan Cono di mata saya. Yang penting bukan menjadi Ono dalam bahasa prokem, atau kokoronotomo dalam bahasa gaul, atau menjadi x0no seperti bahasa alay-nya.

Viva kono, cono..  tjono (sst, yang ini nama orang !)